ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang
(sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang
Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak,
tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang -
Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam
bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual
menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.
Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun
kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan
ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang
menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura
Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan
Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai
sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu
beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih
sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa
ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang
untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan
darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari
Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan
dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi
yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur
tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan:
pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang
diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina,
peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita,
durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan
indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul
getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya
menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga
pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan
batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan
hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya :
Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah
Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang
telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari
Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti
disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang
pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,
Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte
tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau
sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa
istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan
itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang
lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh
masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan
keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan
saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan
sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi
seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan
rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak
dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana
bersaudara yaitu:a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat
Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala
jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di
Besakih.b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin
Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di
Gelgelc.
Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di
Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra
sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya
berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di
Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati
padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau
1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)Sebenarnya keempat orang
Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama
Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis,
Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca
Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan
dharma “Kabrahmanan”.
Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang
dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu : Dari pihak Budha
Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidango, Dari pihak
Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru, Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang
Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana
menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri
Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak
dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah
kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu
wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.Semenjak
itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk
memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
ØPura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
ØPura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari
Sang Hyang Widhi Wasa
ØPura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya
Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi
lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan
suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu
Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat
Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna,
maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang
diberi nama Pura Samuan Tiga.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran
cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud
simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di
tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg
(Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah
pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh
Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang
Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk
melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa
dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah
genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama
kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran
itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan
dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat
perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa
dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana,
Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan
paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa,
Sadha Siwa, dan Parama Siwa.
Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam
kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam
kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua
bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan
diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang
memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat
pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra
yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung,
Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit,
Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga
aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk
memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya :
Pura Purancak,
Pura Rambut siwi,
Pura Pakendungan,
Pura Hulu watu,
Pura Bukit Gong,
Pura Bukit Payung,
Pura Sakenan,
Pura Air Jeruk,
Pura Tugu,
Pura Tengkulak,
Pura Gowa Lawah,
Pura Ponjok Batu,
Pura Suranadi (Lombok),
Pura Pangajengan,
Pura Masceti,
Pura Peti Tenget,
PuraAmertasari,
Pura Melanting,
Pura Pulaki,
Pura Bukcabe,
Pura Dalem Gandamayu,
Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada
kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang
khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Copy paste FB page : Hindu Dharma
Semoga bermanfaat karena berbagi kebaikan takkan pernah merugi
dan selalu beruntung.
No comments:
Post a Comment