PRALAYA DWARAWATI

 

Kisah Kehancuran Keluarga Sri Krishna dalam Kakawin Mausala Parwa

By Sugi Lanus , 20 Agustus 2021

Kisah kehancuran keluarga Sri Krishna dapat kita baca dalam Mausala Parwa. Keluarga besar Sri Krishna tewas dalam perkelahian saling bunuh antar saudara akibat mabuk dan terkena kutukan rsi penerima Weda dan Gandhari. Setelah putranya dan bangsanya saling bunuh, Sri Krishna gugur terkena panah oleh pemburu bernama Jara.

Kehancuran keluarga Sri Krishna ini bermula dari Samba (putra Sri Krishna) dan kelompoknya yang bersikap terlalu arogan mempermainkan para rsi suci penerima wahyu suci Weda. Kisah ini terjadi setelah 36 tahun usainya perang besar Mahabharata. Gandhari mengutuk Sri Krishna dan keluarganya karena Sri Krishna dianggap tokoh suci yang bertanggungjawab atas pembiaran terjadinya perang besar Mahabharata. Menurut Gandhari, kenapa Sri Krishna membiarkan terjadinya Mahabharata?

Mausala Parwa adalah bagian (parva/parwa) ke-16 dari 18 parva yang menyusun Mahabharata. Mausala Parva merupakan salah satu dari tiga parva terpendek dari 18 parva Mahabharata. Terdiri dari 9 bab tanpa sub bab. Dikenal sebagai parwa terpendek dalam Mahabharata.

Kakawin Mausala Parwa yang berbahasa Kawi (Jawa Kuno) yang beredar di Bali dan kerajaan Jawa Kuno di masa lampau, berbentuk lontar dan menjadi bagian kegiatan mababasan atau pesantian. Naskah Jawa Kuno ini sama isinya dengan naskah Mausala Parva berbahasa Sanskerta yang edar luas di India sampai sekarang. Keduanya berkisah tentang kisah kehancuran keluarga Sri Krishna

Kalau kita membaca bagian Mahabharata yang lain, sebelum gugurnya Sri Krishna, yaitu dalam Bhisma Parva (di lontar Bali dan Jawa Kuno disebut Kakawin Bhisma Parwa), di sana kita mendapatkan kisah bagaimana Sri Krishna memberikan nasehat kepada Arjuna yang ragu-ragu dalam peperangan Mahabharata. Di sana Sri Krishna mengizinkan Arjuna untuk melihat wujud kedewatan dirinya yang luar biasa. Arjuna meminta maaf karena tidak dapat mengenali Sri Krishna sebagai dewa. Arjuna meminta maaf atas ketidakhormatan yang dia tunjukkan, jika dia mengatakan sesuatu dengan ceroboh di masa lalu, dan menganggap Krishna sebagai teman biasa.

Percakapan antar Sri Krishna dan Arjuna itu, yang merupakan bagian dari Bhisma Parva itu, secara terpisah dikenal sebagai Bhagavad Gita. Jadi, jika kita menyimak serius Bhisma Parwa, akan mendapati sumber dari percakapan Bhagavad Gita. Bhagavad Gita bersetting perang Mahabharata, percakapan Sri Krishna dan Arjuna tercantum versi singkatnya dalam Kakawin Bhisma Parwa yang sudah dikenal masyarakat Jawa Kuno dan Bali sebelum berdiri Majapahit, kemungkinan telah beredar di era Kerajaan Kediri yang tegak berdiri di tanah Jawa dari sekitar tahun 1042 sampai 1222.

Sosok Krishna adalah sosok dewa pujaan yang sangat terkenal di India

Krishna, dalam penulisan Sansekerta ditulis Kṛṣṇa, selain dikisahkan dalam Mahabharata, merupakan salah satu dewa India yang paling dihormati dan paling populer, disembah sebagai inkarnasi kedelapan (avatar, atau avatara ) dari dewa Hindu Wisnu dan juga sebagai dewa tertinggi dalam dirinya sendiri.

Britannica Encyclopedia menyebutkan Krishna dikenal sebagai fokus banyak kultus bhakti (bhakti-marga), yang selama berabad-abad menghasilkan banyak puisi, musik, dan lukisan religius bertema Krishna. Sumber dasar mitologi Kresna adalah epik Mahabharata dan abad ke 5 muncul kisah Harivamsha, dan berbagai Purana, khususnya Buku X dan XI dari Bhagavata-purana. Karya-karya ini menceritakan bagaimana Krishna dilahirkan ke dalam klan Yadava, putra Vasudeva dan Dewaki.

Krishna kecil dipuja dan disenangi karena kelucuannya yang nakal; dia juga melakukan banyak mukjizat dan menumpas ruh jahat. Sebagai seorang pemuda dan gembala sapi, Krishna menjadi terkenal sebagai kekasih, suara serulingnya mendorong gopi (istri dan putri gembala sapi) meninggalkan rumah mereka untuk menari gembira dengan dia di bawah sinar bulan. Yang paling dicintainya, di antara mereka, adalah Radha yang cantik.

Pada suatu ketika, Krishna dan saudaranya Balarama kembali ke Mathura untuk membunuh Kamsa yang jahat. Setelah itu, kerajaannya tidak aman, Krishna memimpin klan Yadawa ke pantai barat Kathiawar dan mendirikan istananya di Dvaraka (Dwarka modern diperkirakan Gujarat). Dia menikahi putri Rukmini dan mengambil istri lain juga.

Krishna menolak untuk mengangkat senjata dalam perang besar antara Korawa (putra Dhritarashtra, keturunan Kuru) dan Pandawa (putra Pandu), tetapi dia menawarkan pilihan kehadiran pribadinya di satu sisi dan pinjaman pasukannya ke sisi lain. Pandawa memilih yang pertama, dan Kresna menjadi kusir untuk Arjuna, salah satu satria Pandawa.

Britannica Encyclopedia menyebutkan: “Vasudeva-Krishna didewakan pada abad ke-5 SM. Krishna penggembala sapi mungkin adalah dewa dari komunitas pengembala. Krishna yang muncul dari perpaduan beragam tokoh-tokoh akhirnya diidentifikasi dengan dewa tertinggi Wisnu-Narayana dan, karenanya, dianggap sebagai avatar-Nya. Peribadatan pengembala ini bertahan lama.. dari analogi antara cinta ilahi dan cinta manusia. Dengan demikian, kemesraan sosok Krishna muda dengan para gopi ditafsirkan sebagai simbol dari interaksi cinta kasih antara Tuhan dan jiwa manusia… “.

Tidak ada pemujaan Krishna dalam jejak sejarah Hindu di Indonesia

Lain dengan di India yang banyak ada pemujaan Krishna. Di kalangan penganut Hindu di Nusantara — sekalipun punya versi Kawi (Jawa Kuno) Kakawin Mausala Parwa, yang mengisahkan kutukan Rsi pada Samba putra Krisna, dan juga Kakawin Bhisma Parwa yang mengandung percapakan Arjuna dan Krishna — tidak tertinggal jejak relief dan pemujaan pada sosok Sri Krishna dalam sejarah Hindu di Nusantara kuno.

Di Jawa dan di Bali, Krishna dikenal sebagai sosok dunia pewayangan, tanpa ada pernah meninggalkan jejak pemujaan pada sosok ini. Krishna dalam pewayangan Jawa merupakan tokoh pengayom dharma, memiliki sifat mulia, utama, dan adil. Dikenal sebagai sosok penjaga dan pemelihara alam semesta. Sekalipun demikian, sepanjang pengetahuan saya, di Jawa tidak pernah ada okultisme Jawa yang menyembah sosok Krishna. Demikian juga di Bali di masa lalu, sekalipun sosok Krishna sangat dimuliakan dalam berbagai pergelaran pewayangan.

Ringkasan kisah ringkas gugurnya Sri Krishna dalam Mausala Parva

Kisah ini terjadi tiga puluh enam tahun setelah Mahabharata berlalu — ketika itu Gandhari mengutuk ras Yadawa akan mengalami kehancuran total, menyalahkan Krishna atas perang Mahabharata.

Rangkaian peristiwa yang berujung pada bencana dan kehancuran keluarga Sri Krishna dan ras Yadawa ini berawal dari sebuah lelucon yang dilakukan oleh para pemuda Yadawa.

Ini adalah akhir dari Dwaparayuga.

Rsi Viswamitra, Kanva dan Narada berkunjung kota Dwaraka — kota Sri Krishna. Setibanya di kota Dwaraka beberapa pemuda Yadava mendekati kedatangan para rsi dengan maksud mengerjai para suci tersebut. Salah satu pemuda, bernama Samba, ia putra Sri Krishna, berpakaian seperti wanita hamil. Mereka bertanya kepada sang bijak para rsi, “Wahai yang mulia, ini adalah istri Babhru yang ingin memiliki seorang putra. Mohon berkat. Apakah yang lahir perempuan atau laki? ”

Rsi segera mengerti kenakalan yang dimainkan. Mereka mengutuk pemuda itu, “Hai keturunan dari keluarga Vasudeva, Samba, akan melahirkan gada (mausala) yang akan menyebabkan kehancuran bangsa Yadawa. Kalian semua, kecuali Balarama dan Krishna, akan binasa karena kutukan ini.”

Keesokan harinya Samba melahirkan sebatang besi gada. Ketika raja Vrishni, Ugrasena, mengetahui hal ini, dia menjadi sangat khawatir. Dia memerintahkan batang besi gada digiling menjadi bubuk dan dibuang ke laut. Dia juga mengumumkan larangan total pembuatan dan konsumsi minuman alcohol di seluruh kerajaannya. Minuman keras dipahami akan menjadi pertanda kehancuran kerajaannya.

Klan Yadava dari Vrishni, Andhaka, Bhoja dan Kukura berusaha berperilaku terbaik untuk menghindari kutukan sang rsi. Garis langit tidak bisa dihindari. Ada pertanda bencana akan datang. Keledai lahir dari sapi dan bagal dari gajah. Cacing ditemukan pada makanan yang dimasak bersih. Para brahmana diperlakukan dengan buruk dan istri serta suami menipu pasangan mereka. Konfigurasi awan di langit mirip dengan apa yang muncul sebelum perang delapan belas hari, Mahabharata. Ada peristiwa kematian wanita kulitnya menghitam dan mengerikan berkeliaran di kota.

Cakra yang diberikan oleh Agni kepada Kresna menghilang ke angkasa. Panji-panji di kereta Krishna dan Balarama, Garuda (Layang-layang) dan pohon lontar, dibawa pergi oleh para bidadari. Kereta Krishna, ditarik oleh empat kuda terkenal, Sugriva, Saivya, Megapushpa dan Balahaka, melesat pergi.

Khawatir dengan pertanda tidak baik itu, para Yadawa, bersama keluarga mereka, melakukan perjalanan penyucian diri ke pantai laut suci Prabhasa.

Namun, setelah mencapai Prabhasa, mereka minum anggur, bahkan di hadapan Krishna, dan segera mabuk. Balarama sendiri ikut bersuka ria. Terjadilah pertengkaran yang berujung pada perkelahian.

Disebabkan mabuk oleh minuman keras, Satyaki mencemooh Kritavarman karena telah melakukan perbuatan tidak satria, yaitu membunuh mereka yang sedang tidur di Kurukshetra. Kritavarman membalas dengan caci maki dan langsung memenggal kepala Satyaki.

Peristiwa gaib aneh terjadi, apapun yang diambil berubah menjadi senjata, lalu digunakan untuk menyerang dan membunuh. Besi gada kutukan yang telah menjadi tepung yang dibuang ke laut Prabhasa kutuknya tidak berhenti. Siapa yang mengambil bilah rumput yang tumbuh dari serbuk besi pantai Prabhasa, bilah rumput ilalang menjadi menjadi batang besi dan senjata terkutuk.

Mengetahui bahwa waktu kehancuran Yadawa telah tiba, dan mengingat kutukan Gandari, Krishna tidak mau ikut campur dalam pertarungan. Namun, tidak terhindarkan, Krishna sendiri karena berada di tengah perkelahian yang terhindarkan ikut membunuh banyak sanak saudaranya, dengan menggunakan tongkat pemukul.

Dalam perkelahian saudara itu, semua pria, kecuali Krishna, kusirnya Daruka dan Balarama terbunuh.

Krishna mengirim Daruka ke Hastinapura untuk memberi tahu Arjuna tentang peristiwa itu, sehingga Arjuna sang pangeran Pandawa bisa datang dan membawa para wanita Yadawa yang masih hidup bersamanya, untuk diselamatkan.

Balarama, berduka atas pembantaian para Yadawa, berjalan menuju hutan. Ketika Krishna menyusulnya, dia melihat jiwa saudaranya meninggalkan tubuhnya. Seekor ular berkepala sepuluh keluar dari mulut Balarama dan hanyut ke laut. Adisesha, ular di bawah kaki Wisnu, telah menyelesaikan misinya di bumi dan kembali ke wilayah para dewa.

Krishna memutuskan bahwa waktunya sendiri untuk menyerahkan tubuhnya telah tiba. Krishna mengistiharatkan dirinya di hutan dan masuk ke dalam meditasi.

Pada kesempatan lampau, Durvasa telah memberinya anugerah pada Sri Krishna bahwa tubuhnya akan kebal, kecuali kakinya. Seorang pemburu, bernama Jara mengira kaki Sri Krishna yang tampak di antara semak sebagai seeokar rusa dan memanahnya. Anak panah itu menembus telapak kaki Krishna dan menembus tubuhnya.

Sang pemburu sangat khawatir akan kesalahannya, ia meminta pengampunan Krishna. Krishna menghiburnya dan menyuruhnya pergi. Dikisahkan Sri Krishna Kembali ke Surga, disambut para dewa.

Menerima berita tentang kejadian di Prabhasa, Arjuna pergi ke Dwaraka. Ia bertemu pamannya Vasudeva. Ayah Krishna yang sudah lanjut usia ditemukan terbaring di tanah, sangat menderita karena kehilangan orang-orang terdekat dan tersayangnya. Segera setelah kedatangan Arjuna, Vasudeva meninggal akibat tidak mampu menanggung kesedihan atas kehilangan keluarganya.

Arjuna melakukan upacara untuk pamannya. Empat istri Vasudeva, Dewaki, Bhadra, Rohini dan Madira juga mengakhiri hidup mereka, diliputi oleh kehilangan suami mereka.

Arjuna memberi waktu tujuh hari bagi penduduk Dwaraka untuk meninggalkan kota. Ia tahu bahwa ibu kota Yadava akan ditelan laut. Ia memberi tahu warga bahwa pangeran muda, Vajra, cucu Krishna, akan menjadi raja mereka. Arjuna kemudian melanjutkan ke Prabhasa untuk melakukan upacara terakhir untuk Krishna, Balarama dan lain-lain yang telah meninggal.

Tujuh hari setelah kedatangannya, Arjuna memulai perjalanannya kembali ke Hastinapura. Dia berangkat dengan rombongan besar wanita dan anak-anak, dan membawa semua kekayaan yang mampu ia bawa. Dekat di belakangnya, kota Dwaraka menghilang di bawah gelombang laut yang naik.

Dalam perjalanan pulang, rombongan Arjuna dirampok perampok. Selain emas dan barang berharga lainnya, para perampok-bajak laut membawa banyak perempuan ke kapal. Arjuna mendapati dirinya kehilangan kekuatan untuk mengusir para perampok, tidak mampu menggunakan senjata anugrah para dewa yang dimilikinya.

Arjuna membawa semua keluarga Yadawa yang masih hidup ke Kurukshetra. Ia kemudian menetapkan Vajra sebagai raja di Indraprastha. Istri Kresna, Rukmini, mengakhiri hidupnya dengan memasukkan api. Istrinya yang lain, Satyabhama, pergi ke Himalaya untuk melakukan penebusan dosa.

Dari Kurukshetra, Arjuna pergi ke pertapaan Vyasa. Di sana orang bijak menghibur Arjuna dengan mengatakan, “Kamu tidak perlu tertekan. Para perampok berhasil karena semua kekuatanmu telah hilang karena engkau telah mencapai semua yang diharapkan. Apa pun yang terjadi pada para kshatriya dan bangsa Yadawa sudah ditentukan sebelumnya.”

Kisah Samba putra Krishna sangat dikenal dalam pencinta sastra Jawa Kuno

Kisah kutukan rsi pada Samba (putra Krishna) yang tertulis dalam Parwa dalam bahasa Jawa Kuno ini adalah salah satu dari delapan parwa Jawa Kuno yang selamat dan diwariskan di Bali. Kedelapan parwa tersebut: Adi Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Ashrama Parwa, Mausala Parwa, Prasthnika Parwa, dan Swargarohana Parwa.

Parwa-parwa inilah yang memberikan referensi suci leluhur Bali dan Jawa Kuno dalam memahami itihasa Hindu yang penuh petuah dan petunjuk keagamaan. Banyak petunjuk ritual dan mantra, misalnya ditemukan dalam Adi Parwa, yang berperan besar dalam memahami ritual dan upakara kuno di desa-desa Bali yang ritualnya masih bernama ngusaba — ada benang merah yang kuat antara sastra parwa ini dengan tradisi pemujaan dan puja wali di Bali yang masih perlu ditelurusi secara mendalam.

Putra Sri Krishna dikutuk rsi penerima Weda

Kisah gugurnya Sri Krishna dalam Mausala Parva memberikan gambaran, tiada apapun yang kekal di muka bumi. Bahkan Sri Krishna yang menunjukkan kedewataannya sekalipun harus mengikuti “Sang Roda Waktu”.

Tewasnya Samba putra Krishna ini sebagai penanda bagaimana mencederai atau mengolok-olok para rsi penerima kitab wahyu Weda — Rsi Viswamitra, Kanva dan Narada berkunjung kota Dwaraka — menjadi cikal bakal kehancuran. Mausala Parwa seakan memberikan pesan pada pembaca: Bagaimanapun digjaya sebuah keluarga, pasti hancur kalau tidak menghargai tokoh-tokoh suci pembawa ajaran suci terdahulu, yaitu Weda.

Bagi Arjuna, sungguh tidak mudah dipahami kenapa terjadi kutukan dan kehancuran klan Yadawa. Kepedihan yang dialami Arjuna yang dikabarkan melihat 500 ribu mayat bangsa Yadawa yang tewas saling bunuh. Kepiluan Arjuna melihat hancurnya keluarga Sri Krishna dan gugurnya Sri Krisna tercantum dalam penutup Kakawin Mausala Parwa dalam bahasa Jawa kuno atau Kawi diungkapkan sebagai berikut:

“Sājñā mahāmuni, pinakanghulun sang Arjjuna, sakeng Dwārawatī, tumon kapjah sang watĕk Yadu, katon kasyasih nira kabeh, kahidĕp tan kneng pati sira kabeh, anmwā (l. anmu) kaśaktin ira sarwwa duṣṭa, muwah bhaṭāra Kṛṣṇa Wiṣṇu tenyawi (l. ka­ dadi)nya, mahātapa katkan[a] ta[h] sanghāra; aparan ta ulaha ning pinakanghulun, matan(gn)yan panmwa hayu, anugraha ma(ha)rsi tina (l. nĕ)ḍa ning pinakanghulun.” Mangkana ling sang Partha.

Arjuna penghadap Bhagawan Bhyasa, bertanya dengan sangat sedih, kenapa kehancuran bisa menghampiri sosok bhaṭāra Kṛṣṇa Wiṣṇu?

“… (h)aywa ta sira kinalarakĕn, kunang ulahanta yogya kitānusupa ring alas, gumawayakna wanawa­sabrat[th]a, yatanya(’n) ta katkana Kalikála; wara­ hĕn ta mahārāja Yudhiṣthira sa[h]w(w)angsānakta kabeh, (h)aywa pramāda ring dharmma…”

Bhagawan Bhyasa memberikan petunjuk, ini adalah masa atau zamam Kali. Jika ingin mempersiapkan diri memasuki kedamaian dan keheningan diri, masuklah ke dalam hutan. Menjalankankan penyepian dan tapabrata dalam hutan. Hanya ini jalan di masa ini. Tiada jalan lain selain lewat jalan tapa penyepian diri dalam meraih dharma.

Mausala Parwa ini sangat jelas pesan moralnya: Menghargai ajaran kuno dan menghargai para rsi terdahulu adalah wajib. Sebuah kelompok atau keluarga, atau siapapun yang mencampakkan ajaran kuno dan atau para rsi penerima wahyu Weda secara membabi-buta akan menemui kehancurannya.

 

Share:

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
My Name is NI NENGAH DESSI.I am a blogger.Female.I am a Balinese.Indonesia is my country.

SEGEHAN HARI RAYA NYEPI

  Kemarin banyak yang tanya Segehan yg 11tanding itu untuk dimana Ini saya share ulang yang lebih lengkap. ✓ Tri Mala Paksa, yaitu Bhuta Buc...